KEBUDYAAN BETAWI
( Sumber : Website PEMKOT Jak Sel )
Kebudayaan Betawi secara umum merupakan hasil perkawinan berbagai
macam kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara
maupun kebudayaan asing. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai
orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan
bangsa. Mereka adalah hasil kawin-mawin antaretnis dan bangsa di masa
lalu.
Diawali oleh orang Sunda, sebelum abad ke-16 dan masuk ke dalam
Kerajaan Tarumanegara serta kemudian pakuan Pajajaran. Selain orang
Sunda, terdapat pula pedagang dan pelaut asing dari pesisir utara Jawa,
dari berbagai pulau Indonesia Timur, dari Malaka di semenanjung Malaya,
bahkan dari Tiongkok serta Gujarat di India.
Waktu Fatahillah dengan tentara Demak menyerang Sunda Kelapa
(1526/27), orang Sunda yang membelanya dikalahkan dan mundur ke arah
Bogor. Sejak itu, dan untuk beberapa dasawarsa abad ke-16, Jayakarta
dihuni orang Banten yang terdiri dari orang yang berasal dari Demak dan
Cirebon. Sampai JP Coen menghancurkan Jayakarta (1619), orang Banten
bersama saudagar Arab dan Tionghoa tinggal di muara Ciliwung. Selain
orang Tionghoa, semua penduduk ini mengundurkan diri ke daerah
kesultanan Banten waktu Batavia menggantikan Jayakarta (1619).
Pada awal abad ke-17 perbatasan antara wilayah kekuasaan Banten dan
Batavia mula-mula dibentuk oleh Kali Angke dan kemudian Cisadane.
Kawasan sekitar Batavia menjadi kosong. Daerah di luar benteng dan
tembok kota tidak aman, antara lain karena gerilya Banten dan sisa
prajurit Mataram (1628/29) yang tidak mau pulang. Beberapa persetujuan
bersama dengan Banten (1659 dan 1684) dan Mataram (1652) menetapkan
daerah antara Cisadane dan Citarum sebagai wilayah kompeni. Baru pada
akhir abad ke-17 daerah Jakarta sekarang mulai dihuni orang lagi, yang
digolongkan menjadi kelompok budak belian dan orang pribumi yang bebas.
Sementara itu, orang Belanda jumlahnya masih sedikit sekali. Ini karena
sampai pertengahan abad ke-19 mereka kurang disertai wanita Belanda
dalam jumlah yang memadai. Akibatnya, benyak perkawinan campuran dan
memunculkan sejumlah Indo di Batavia. Tentang para budak itu, sebagian
besar, terutama budak wanitanya berasal dari Bali, walaupun tidak pasti
mereka itu semua orang Bali. Sebab, Bali menjadi tempat singgah budak
belian yang datang dari berbagai pulau di sebelah timurnya.
Sementara itu, orang yang datang dari Tiongkok, semula hanya orang
laki-laki, karena itu mereka pun melakukan perkawinan dengan penduduk
setempat, terutama wanita Bali dan Nias. Sebagian dari mereka berpegang
pada adat Tionghoa (misalnya penduduk dalam kota dan ‘Cina Benteng’ di
Tangerang), sebagian membaur dengan pribumi (terutama dengan orang Jawa
dan membentuk kelompok Betawi Ora, misalnya di sekitar Parung). Tempat
tinggal utama orang Tionghoa adalah Glodok, Pinangsia dan Jatinegara.
Keturunan orang India -orang koja dan orang Bombay tidak begitu besar
jumlahnya. Demikian juga dengan orang Arab, sampai orang Hadhramaut
datang dalam jumlah besar, kurang lebih tahun 1840. Banyak di antara
mereka yang bercampur dengan wanita pribumi, namun tetap berpegang pada
ke-Arab-an mereka.
Di dalam kota, orang bukan Belanda yang selamanya merupakan mayoritas
besar, terdiri dari orang Tionghoa, orang Mardijker dari India dan Sri
Lanka dan ribuan budak dari segala macam suku. Jumlah budak itu kurang
lebih setengah dari penghuni Kota Batavia.
Orang Jawa dan Banten tidak diperbolehkan tinggal menetap di dalam
kota setelah 1656. Pada tahun 1673, penduduk dalam kota Batavia
berjumlah 27.086 orang. Terdiri dari 2.740 orang Belanda dan Indo, 5.362
orang Mardijker, 2.747 orang Tionghoa, 1.339 orang Jawa dan Moor
(India), 981 orang Bali dan 611 orang Melayu. Penduduk yang bebas ini
ditambah dengan 13.278 orang budak (49 persen) dari bermacam-macam suku
dan bangsa (demikian Lekkerkerker).
Sepanjang abad ke-18, kelompok terbesar penduduk kota berstatus budak.
Komposisi mereka cepat berubah karena banyak yang mati. Demikian juga
dengan orang Mardijker. Karena itu, jumlah mereka turun dengan cepat
pada abad itu dan pada awal abad ke-19 mulai diserap dalam kaum Betawi,
kecuali kelompok Tugu, yang sebagian kini pindah di Pejambon, di
belakang Gereja Immanuel. Orang Tionghoa selamanya bertambah cepat,
walaupun sepuluh ribu orang dibunuh pada tahun 1740 di dalam dan di luar
kota.
Oleh sebab itu, apa yang disebut dengan orang atau Suku Betawi
sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir
dari perpaduan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu hidup
di Jakarta, seperti orang Sunda, Jawa, Arab, Bali, Sumbawa, Ambon, dan
Melayu. Antropolog Univeristas Indonesia, Dr Yasmine Zaki Shahab MA
menaksir, etnis Betawi baru terbentuk sekitar seabad lalu, antara tahun
1815-1893.
Perkiraan ini didasarkan atas studi sejarah demografi penduduk Jakarta
yang dirintis sejarawan Australia, Lance Casle. Di zaman kolonial
Belanda, pemerintah selalu melakukan sensus, di mana dikategorisasikan
berdasarkan bangsa atau golongan etnisnya. Dalam data sensus penduduk
Jakarta tahun 1615 dan 1815, terdapat penduduk dari berbagai golongan
etnis, tetapi tidak ada catatan mengenai golongan etnis Betawi.
Rumah Bugis di bagian utara Jl Mangga Dua di daerah kampung Bugis yang
imulai pada tahun 1690. Pada awal abad ke 20 ini masih terdapat
beberapa rumah seperti ini di daerah Kota.
Hasil sensus tahun 1893 menunjukkan hilangnya sejumlah golongan etnis
yang sebelumnya ada. Misalnya saja orang Arab dan Moors, orang Jawa dan
Sunda, orang Sulawesi Selatan, orang Sumbawa, orang Ambon dan Banda, dan
orang Melayu. foto pada kartu pos dari awal abad ke 20 menggambarkan
rumah-rumah Tiong Hoa di Maester. Jalan ke kiri menuju pasar Jatinegara
lama. Sedangkan jalan utama adalah Jatinegara Barat menuju arah selatan.
Namun, pada tahun 1930, kategori orang Betawi yang sebelumnya tidak
pernah ada justru muncul sebagai kategori baru dalam data sensus tahun
tersebut. Jumlah orang Betawi sebanyak 778.953 jiwa dan menjadi
mayoritas penduduk Batavia waktu itu.
Antropolog Universitas Indonesia lainnya, Prof Dr Parsudi Suparlan
menyatakan, kesadaran sebagai orang Betawi pada awal pembentukan
kelompok etnis itu juga belum mengakar. Dalam pergaulan sehari-hari,
mereka lebih sering menyebut diri berdasarkan lokalitas tempat tinggal
mereka, seperti orang Kemayoran, orang Senen, atau orang Rawabelong.
Pengakuan terhadap adanya orang Betawi sebagai sebuah kelompok etnis
dan sebagai satuan sosial dan politik dalam lingkup yang lebih luas,
yakni Hindia Belanda, baru muncul pada tahun 1923, saat Moh Husni
Thamrin, tokoh masyarakat Betawi mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi.
Baru pada waktu itu pula segenap orang Betawi sadar mereka merupakan
sebuah golongan, yakni golongan orang Betawi.
Sejak akhir abad yang lalu dan khususnya setelah kemerdekaan (1945),
Jakarta dibanjiri imigran dari seluruh Indonesia, sehingga orang
Betawi--dalam arti apapun juga--tinggal sebagai minoritas. Pada tahun
1961, ’suku’ Betawi mencakup kurang lebih 22,9 persen dari antara 2,9
juta penduduk Jakarta pada waktu itu. Mereka semakin terdesak ke
pinggiran, bahkan ramai-ramai digusur dan tergusur ke luar Jakarta.
Walaupun sebetulnya, ’suku’ Betawi tidaklah pernah tergusur datau
digusur dari Jakarta, karena proses asimilasi dari berbagai suku yang
ada di Indonesia hingga kini terus berlangsung dan melalui proses
panjang itu pulalah ’suku’ Betawi hadir di bumi Nusantara.